Pertanian
Relief yang menggambarkan pertanian di Mesir.
Kondisi geografi yang mendukung dan tanah di tepi sungai Nil yang subur membuat bangsa Mesir mampu memproduksi banyak makanan, dan menghabiskan lebih banyak waktu dan sumber daya dalam pencapaian budaya, teknologi, dan artistik. Pengaturan tanah sangat penting di Mesir Kuno karena pajak dinilai berdasarkan jumlah tanah yang dimiliki seseorang.
[77]
Pertanian di Mesir sangat bergantung kepada siklus sungai Nil. Bangsa Mesir mengenal tiga musim:
Akhet (banjir),
Peret (tanam), dan
Shemu (panen). Musim banjir berlangsung dari Juni hingga September, menumpuk
lanau kaya mineral yang ideal untuk pertanian di tepi sungai. Setelah banjir surut, musim tanam berlangsung dari Oktober hingga Februari. Petani membajak dan menanam bibit di ladang. Irigasi dibuat dengan parit dan kanal. Mesir hanya mendapat sedikit hujan, sehingga petani sangat bergantung dengan sungai Nil dalam pengairan tanaman.
[78] Dari Maret hingga Mei, petani menggunakan sabit untuk memanen. Selanjutnya, hasil panen
diirik untuk memisahkan jerami dari gandum. Proses
penampian menghilangkan sekam dari gandum, lalu gandum ditumbuk menjadi tepung, diseduh untuk membuat bir, atau disimpian untuk kegunaan lain.
[79]
Bangsa Mesir menanam
gandum emmer dan
jelai, serta beberama gandum sereal lain, sebagai bahan roti dan bir.
[80] Tanaman-tanaman
Flax ditanam dan diambil batangnya sebagai serat. Serat-serat tersebut dipisahkan dan dipintal menjadi benang, yang selanjutnya digunakan untuk menenun
linen dan membuat pakaian.
Papirus ditanam untuk pembuatan kertas. Sayur-sayuran dan buah-buahan dikembangkan di petak-petak perkebunan, dekat dengan permukiman, dan berada di permukaan tinggi. Tanaman sayur dan buah tersebut harus diairi dengan tangan. Sayur-sayuran meliputi bawang perai, bawang putih, melon,
squash, kacang, selada, dan tanaman-tanaman lain. Anggur juga ditanam untuk diolah menjadi
wine.
[81]
Sennedjem membajak ladangnya dengan sepasang lembu, digunakan sebagai hewan pekerja dan sumber makanan.
Bangsa Mesir percaya bahwa hubungan yang seimbang antara manusia dengan hewan merupakan elemen yang penting dalam susunan kosmos; maka manusia, hewan, dan tumbuhan diyakini sebagai bagian dari suatu keseluruhan.
[82] Hewan, baik yang di
domestikasi maupun liar, merupakan sumber spiritualitas, persahabatan, dan rezeki bagi bangsa Mesir Kuno. Sapi adalah hewan ternak yang paling penting; pemerintah mengumpulkan pajak terhadap hewan ternak dalam sensus-sensus reguler, dan ukuran ternak melambangkan martabat dan kepentingan pemiliknya. Selain sapi, bangsa Mesir Kuno menyimpan domba, kambing, dan babi. Unggas seperti bebek, angsa, dan merpati ditangkap dengan jaring dan dibesarkan di peternakan. Di peternakan, unggas-unggas tersebut dipaksa makan adonan agar semakin gemuk.
[83] Sementara itu, di sungai Nil terdapat sumber daya ikan. Lebah-lebah juga didomestikasi dari masa Kerajaan Lama, dan hewan tersebut menghasilkan madu dan lilin.
[84]
Keledai dan lembu digunakan sebagai
hewan pekerja. Hewan-hewan tersebut bertugas membajak ladang dan menginjak-injak bibit ke dalam tanah. Lembu-lembu yang gemuk dikorbankan dalam ritual persembahan.
[83] Kuda-kuda dibawa oleh Hyksos pada Periode Menengah Kedua, sementara unta, meskipun sudah ada sejak periode Kerajaan Baru, tidak digunakan sebagai hewan pekerja hingga Periode Akhir. Selain itu, terdapat bukti yang menunjukan bahwa
gajah sempat dimanfaatkan pada Periode Akhir, tetapi akhirnya dibuang karena kurangnya tanah untuk merumput.
[83] Anjing, kucing, dan monyet menjadi hewan peliharaan, sementara hewan-hewan seperti singa yang diimpor dari jantung Afrika merupakan milik kerajaan.
Herodotus mengamati bahwa bangsa Mesir adalah satu-satunya bangsa yang menyimpan hewan di rumah mereka.
[82] Selama periode pradinasti dan akhir, pemujaan dewa dalam bentuk hewan menjadi sangat populer, seperti dewi kucing
Bastet dan dewa ibis
Thoth, sehingga hewan-hewan tersebut dibesarkan dalam jumlah besar untuk dikorbankan dalam ritual